Pelicin di Negeri Pencoleng
Pelicin, orang dalam, politik uang. Itulah kata kunci untuk memuluskan urusan. Orang yang bekerja karena menyuap selama bekerja pasti mencari cara supaya balik modal dengan minta suap saat melayani, ngutil, atau korupsi.
Tagar.co – Ada bupati ditangkap KPK. Kesalahannya, menarik uang untuk calon pegawai negeri. Juga menjual jabatan kepala dinas.
Kasus seperti ini berulang terus. Dilakukan beberapa bupati di beberapa daerah. Satu kasus ternyata tak menjadi cermin bagi kepala daerah lain agar berhati-hati tak melakukan korupsi.
Saking jengkelnya Tere Liye menulis novel diberi judul Negeri Para Bedebah yang menggambarkan para pejabat rakus itu.
Prinsip menghalalkan segala cara dilakukan. Asal tercapai impian, dianggap sah! Mau dapat pekerjaan, naik jabatan, kepala desa, bupati, gubernur, bahkan wakil presiden dan presiden. Karena itu sekarang ini mulai pilkades sampai pilpres pasti ada masalah.
Baca juga: Makan Siang Gratis atau Pendidikan Gratis?
Inilah negeri pencoleng. Anak mau masuk SMP-SMA negeri yang katanya baik saja ya pakai pelicin. Mau ke universitas juga sama. Semua selesai dengan pelicin. Atau pakai ordal. Orang dalam.
Saya punya tetangga. Petani. Orang baik-baik. Punya surau yang ditempati belajar mengaji. Anaknya mau jadi tentara. Ternyata ada ordal yang menawari jaminan lolos. Pakai uang pelicin. Rp 250 juta. Diterima? Ya jadilah anaknya tentara.
Tetangga jauh pun ada. Anak nelayan. Mau jadi PNS kabupaten dengan gaji Rp 3 juta. Bayar Rp 100 juta. Jadi? Ya jadi.
Ada lagi kenalan saya. Mau jadi anggota DPRD provinsi. Habis miliaran rupiah untuk biaya apa pun untuk mulusnya jalan. Jadi? Ya jadi.
Pelicin, orang dalam, politik uang. Itulah kata kunci untuk memuluskan urusan. Orang yang bekerja karena menyuap selama bekerja pasti mencari cara supaya balik modal. Caranya ya minta suap saat melayani, ngutil, atau korupsi.
Inilah penyakit hati. Merasa benar yang jelas-jelas salah. Padahal kata Imam Ghazali, salah satu penyakit hati terbesar adalah orang yang merasa senang dengan pendapatnya sendiri dan menolak kebenaran.
Baca juga: Cinta dan Sabar Modal Berinteraksi Sosial
Menempuh jalan macam itu, merasa bukan masalah. Bermain uang untuk mendapatkan sesuatu itu bukan soal besar. Maka orang itu sedang terjangkit penyakit hati terbesar dalam hidupnya. Dia akan terus sakit hingga tak tahu kapan sembuhnya. Saat ini sifat malu lenyap dari nurani.
Beda dengan kisah Khalifah Umar bin Khattab. Suatu ketika beberapa sahabat mengusulkan Abdullah bin Umar menjadi Gubernur Kufah, namun Umar menolaknya.
Begitu juga ketika Umar membentuk tim untuk memilih penggantinya sebagai khalifah setelah dia luka berat habis ditusuk orang Persia, beberapa Sahabat mengusulkan Abdullah menjadi penggantinya, Umar menolaknya.
Beda dengan kisah sekarang. Ada pejabat yang mengajukan anaknya jadi calon pejabat meskipun tak memenuhi syarat. Aturan pun diubah supaya memenuhi syarat.
Suatu waktu, di tahun 2014 saya pulang kampung. Tetangga, ibu-ibu, bertanya kepada saya: kamu bekerja apa, di mana, bergaji berapa?
Saya menjawab bekerja menjadi guru di sekolah dengan jumlah murid sekian gajinya sekian.
Tetangga masih melempar pertanyaan. Habis berapa kamu masuk di situ?
Saya istigfar. Lalu saya menjawab: alhamdulillah habis 25.
Kok mahal banget, padahal di sini untuk posisi itu hanya 20.
Saya jelaskan. Cuma Rp 25 ribu. Untuk biaya foto copy, print, dan beli amplop lamaran kerja, beli bensin untuk mengantar lamaran ke sekolah, dan makan bakso.
Baca juga: Generasi Z, Kenapa Banyak yang Tidak Bekerja?
Tetangga itu tertegun. Orang desa saya ternyata di pikirannya sudah tertanam semua urusan itu pasti bayar. Jutaan lagi. Maka pantaslah disebut negeri para bedebah. Bukan hanya pejabatnya yang rusak, pikiran rakyat juga ikut rusak.
Mari menata hati. Mengubah diri menjadi lebih baik. Meminjam nasihat Mahatma Gandhi: kemampuan terbesar kita sebagai manusia bukanlah untuk mengubah dunia, tetapi untuk mengubah diri kita sendiri.
Sudahi keburukan menggunakan pelicin ini. Jadilah orang baik, agar itu jadi alasan bagi orang lain bahwa dunia ini ternyata masih banyak orang baik.
Kerjakan kebaikan yang didasari dengan norma baik dan benar. Jauhi kecurangan. Tanamkan dalam diri: saya sukses bersama kebaikan-kebaikan.
Sukses kita karena kebaikan Allah dan kerja keras kita. Sungguh kalau kita semangat bekerja, luar biasa dalam bekerja maka hasil yang akan kita petik akan luar biasa pula. Namun bila kita bekerja ala kadarnya maka hasil yang menghampiri kita ya ala kadarnya pula.
Teruslah semangat. Bekerjalah dengan jujur. Siapkan diri menjadi orang baik, meskipun orang baik itu langka. (#)
Penulis Mulyanto, Guru SD Muhammadiyah 4 (Mudipat) Surabaya, Penyunting Sugeng Purwanto
Tulisan enak dibaca, kapan kapan ingin nulis juga