Tagar.co

Home » W.S. Rendra, Penyair ‘Burung Merak’ nan Flamboyan

W.S. Rendra, Penyair ‘Burung Merak’ nan Flamboyan

W.S. Rendra dalam salah satu pembacaan puisi. (sumber internet)

W.S. Rendra, bukan sekadar seniman, melainkan penyair dan dramawan terkemuka yang berkiprah sejak 1950-an. Penampilannya di atas panggung nan flamboyan membuatnya dijuluki si Burung Merak.

Tagar.co – Dengan berkaos hijau, bercelana jin, dan bersepatu hitam ,W.S. Rendra membacakan puisi berjudul Jangan Takut, Ibu! Tangan kanannya—yang dilankari sebuah jam tangan—mengangkat dan meliuk, menegaskan bait-bait puisi yang ia baca dengan suara yang khas

Jangan takut, Ibu!
jangan mau digertak
jangan mau diancam
karena ketakutan
meningkatkan penjajahan.

Sementara para penonton duduk melingkar, fokus menyimak pria yang konsisten berambut gondrong sebahu ini. Di antara ruang remang dengan sorot cahaya tertuju kepadanya, W.S. Rendra membaca puisi dengan lantang.

Itulah salah satu penampilan W.S. Rendra saat membacakan puisi di Malam Tadarus Budaya dan Haul Syekh Akhmad Mutamakkin Kajen di Madrasah Salafiyah Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, 8 Muharam 1430 atau 6 Januari 2009. 

Diunggah sejak 31 Oktober 2022 oleh kanal ilalangkota video itu kini telah ditonton sebanyak 10.143 kali dan disukai oleh 181 penonton.

Baca juga: Bandar Grisse ibarat Gadis Cantik dan Menawan

Meski usianya sudah tidak muda lagi saat membaca puisi itu, semangat dan nyaring suaranya tetap lantang: berapi-api, tegas namun juga lembut.

Rendra sering tampil kasual. Kadang memakai kemeja di atas panggung atau hanya pakai kaos. Dia suka bercelana jin serta memakai jam tangan di tangan kanan atau kiri. Rambut gondrong sebahu juga menjadi kiri penampilannya.

Penampilannya di atas panggung nan penuh pesona dan flamboyan itu bak Burung Merak. Maka, nama si Burung Merak pun menempel pada dirinya.

W.S. Rendra, bukan sekadar seorang seniman, melainkan penyair dan dramawan terkemuka yang berkiprah sejak 1950-an. 

Dia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Selama berkarier sebagai seorang seniman. Lahir dari keluarga Katolik, dia memiliki nama baptis Willibrordus Surendra Bawana Rendra, yang kemudian disingkat menjadi Rendra atau W.S. Rendra setelah masuk Islam pada 1970. 

Bakatnya dalam menulis puisi, cerita pendek, dan drama, telah terlihat sejak SMP. Namun, sajaknya baru diterbitkan pertama kali di majalah Siasat (1952) saat dia duduk di bangku SMA. Sepanjang 1950-an puisi-puisi dan cerpennya terus dimuat dalam berbagai majalah, seperti Kisah, Seni, Basis, dan Konfrontasi

Lulus SMA, Rendra lanjut berkuliah di Universitas Gajah Mada Jurusan Sastra dan Budaya Inggris, tetapi hanya mencapai gelar sarjana muda. 

Baca juga: Nur Kholis, Menjaga Kearifan Lokal melalui Batik Bangsawan

Pada 1954, dia diundang oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk menghadiri seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard. Selama dua bulan, Rendra berkeliling AS untuk mengenal lebih dekat kehidupan kesusastraan di sana. Setelah mendapatkan pengalaman yang cukup, dia kembali ke Indonesia dan mendirikan kelompok teater di Yogyakarta pada 1961.

Dua tahun kemudian, dia mengerjakan proyek teater pertamanya yang bertajuk Dead Voices. Untuk kali pertama, W.S. Rendra tampil membacakan puisi di depan orang banyak. Dia pun disenangi karena sifat pembacaan puisi dan penampilannya yang indah dan flamboyan. Setelah itu, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di American Academy of Dramatic Arts, New York City.

Pada 1967, setelah menyelesaikan pendidikan di Amerika Serikat, WS Rendra mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Pengalaman yang didapat selama belajar di Amerika Serikat juga dia tuangkan dalam bentuk teater tradisional Indonesia. 

WS Rendra menggabungkannya menjadi sesuatu yang baru dan menghasilkan sebuah karya yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan teater di Indonesia, bahkan sampai sekarang.

Kekuatan Ekspresi

Pada 1969, dia menciptakan sebuah drama tanpa dialog, di mana pemerannya hanya berekspresi menggunakan tubuh mereka dan mengeluarkan suara sederhana, seperti “bip bop” atau “zzzz.” Penyair Goenawan Mohamad menyebut pertunjukan ini sebagai Teater Kata Mini. 

Sepanjang 1970-an, W.S. Rendra semakin dikenal sebagai penyair. Dia banyak menggelar pertunjukan dan pembacaan puisinya juga dihadiri banyak orang. Akan tetapi, sejak 1977, Rendra mulai kesulitan untuk tampil di depan khalayak umum. Kelompok teaternya di Bengkel Teater juga sukar mendapat pekerjaan. Oleh sebab itu, W.S. Rendra merantau ke Jakarta.

WS Rendra sempat dipenjara ketika sedang membacakan puisi di pusat seni Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Salah seorang agen militer Soeharto melemparkan bom amonia ke atas panggung. Dia pun ditangkap dan segera dibawa untuk dipenjarakan di pusat penahanan Polisi Militer Guntur. 

Baca juga: Hafalan Haidar, Kolaborasi Indah Mugeb School dan Orang Tua

Rendra baru dibebaskan sembilan bulan tanpa diadili. Setelah dibebaskan, WS Rendra tidak diizinkan untuk mementaskan puisi atau drama. Barulah pada 1986, dia menulis, menyutradarai, dan memainkan teater berjudul Panembahan Reso. Drama tersebut mengangkat isu suksesi kekuasaan, yang merupakan hal tabu pada masa Orde Baru.

Meski banyak sekali hambatan yang menghadang, Rendra tidak putus asa. Dia tetap berjuang untuk bisa terus berkarya dalam puisi maupun teater.

W.S. Rendra menjadi tokoh dominan dalam dunia sastra dan teater modern Indonesia. Pada 2003, dia telah dikenal secara internasional sebagai penyair besar. 

Bahkan, dia dipercaya menjadi tuan rumah festival puisi internasional pertama di Indonesia yang digelar di Makassar, Surakarta, Bandung dan Jakarta. WS Rendra terus berkiprah dalam bidang seni dan budaya hingga akhir hayatnya pada 6 Agustus 2009 di Depok, Jawa Barat.

Karya

Karya W.S. Rendra (puisi, naskah drama, dan teater).

  • Balada Orang-Orang Tercinta (1957) 
  • Kumpulan Sajak (1961) 
  • Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972) 
  • Potret Pembangunan dalam Puisi (1983) 
  • Nyanyian Orang Urakan (1985)
  • Orang-Orang Rangkasbitung (1993) 
  • Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) 
  • Selamatan Anak Cucu Sulaiman (1967) 
  • Kisah Perjuangan Suku Naga (1975) 
  • Panembahan Reso (1986) 
  • Mastodon dan Burung Condor (1973) 
  • Kumpulan Esai Mempertimbangkan Tradisi (1983)

Penghargaan 

  • Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954) 
  • Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956) 
  • Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970) 
  • Akademi Jakarta (1975)
  • Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) 
  • Penghargaan Adam Malik (1989) 
  • The S.E.A. Write Award (1996) 
  • Penghargaan Achmad Bakri (2006)

Penulis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *