Tagar.co

Home » Darurat Depresi, Solusi Falsafah Bahagia Buya Hamka
Darurat Depresi, Solusi Falsafah Bahagia Buya Hamka; Mahyuddin Syaifulloh, Waka Kurikulum SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo (Miosi)

Darurat Depresi, Solusi Falsafah Bahagia Buya Hamka

Darurat Depresi, Solusi Falsafah Bahagia Buya Hamka; Mahyuddin Syaifulloh, Waka Kurikulum SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo (Miosi)
Darurat Depresi (Ilustrasi AI)

Darurat Depresi, Solusi Falsafah Bahagia Buya Hamka; Mahyuddin Syaifulloh, Waka Kurikulum SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo (Miosi)

Tagar.co – Darurat depresi atau gangguan kesehatan mental melanda Indonesia. Menurut Kementerian Kesehatan kelainan mental menempati urutan tujuh ke atas pada anak-anak, remaja, dan usia produktif sebagai beban kesehatan. Bahkan, kasus bunuh diri dilaporkan sebanyak 826 kasus pada tahun 2022. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Mengutip dari situs Kemenetrian Kesehatan https://sehatnegeriku.kemkes.go.id seseorang yang mengalami depresi mungkin merasakan kesedihan, kecemasan, kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya mereka nikmati, perasaan tidak berharga, atau pemikiran negatif yang berulang tentang diri sendiri, kehidupan, atau kematian. Depresi dapat mengakibatkan penurunan energi, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, dan masalah fisik lainnya.

Jika depresi tidak dapat penanganan, bisa menimbulkan komplikasi serius dan berbahaya. Seperti peningkatan risiko bunuh diri, gangguan kecemasan, nyeri kronis, dan masalah dalam hubungan interpersonal. Penanganan depresi membutuhkan pendekatan holistik, meliputi pemberian obat antidepresan dan terapi psikologis untuk membantu mengatasi pikiran negatif dan mengelola stres. Terapi psikologis yang bisa dilakukan yaitu membantu menentukan pola pikir tentang makna hidup yang tepat. 

Resep Buya Hamka

Buya Hamka memberikan pola pikir makna kehidupan yang akan bermuara pada kebahagiaan pada buku Tasawuf ModernBahagia itu Dekat dengan Kita, Ada di di dalam Diri Kita. Dia berpandangan bahagia itu mempunyai arti sesuai dengan kondisi masing-masing orang, sebanyak penderitaannya, pengalaman, dan kekecewaannya.

Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan. Orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan. Orang yang telah terjerumus ke lembah dosa mengatakan terhenti dari dosa itulah kebahagiaan. Seorang yang rindu atau bercinta, mengatakan hasil maksudnya itulah bahagia. Seorang penyair merasa bahagia jika syairnya jadi hafalan orang. Seorang jurnalis merasa bahagia jika beritanya menginspirasi.

Hamka mengungkapkan pandangan bahagia menurut Nabi Muhammad SAW dengan mengutip hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, dengan apakah berkelebihan setengah manusia dari yang setengahnya?”

Rasulullah Saw menjawab, “Dengan akal!”

Kata ‘Asiyah pula, “Dan di akhirat?”

“Dengan akal juga,” kata beliau.

“Bukankah seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal ibadahnya?” kata ‘Aisyah.

“Hai ‘Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? Sekadar ketinggian derajat akalnya, sebegitukah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka.”

Sabda Rasulullah pula, “Allah telah membagi akal kepada tiga bagian; siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya; kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia terhitung orang yang berakal.”

Orang bertanya, “Ya Rasulullah, manakah bagian yang tiga macam itu?”

Kata beliau, “Pertama baik makrifatnya dengan Allah, kedua, baik taatnya bagi Allah, ketiga, baik pula sabarnya atas ketentuan Allah.”

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama tersebut menyatakan dari sabda Nabi itu dapat diambil kesimpulan bahwa derajat bahagia itu menurut derajat akalnya karena ia data membedakan antara baik dan buruk. 

Akal yang dapat menjelaskan makna sebuah peristiwa dan membantu dalam pengambilan sikap. Akal manusia bertingkat, keinginan manusia berbeda-beda menurut tingkat akalnya. Ada yang cinta kehormatan, harta benda dunia, pujian, manusia bermanfaat, dan lainnya. 

Dia menambahkan, bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka. Agama telah memberi batas arti bahagia, puncak kebahagiaan ialah kenal akan Tuhan, baik makrifat kepada-Nya, baik taat kepada-Nya dan baik sabar atas musibah-Nya.

Dengan kata lain bahagia hadir ketika manusia menyadari ada kekuatan Tuhan yang mengatur kehidupan ini, sehingga bisa menjadi manusia yang bersyukur dan Ikhlas atas kehidupan ini. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *