Tagar.co

Home » Orang Cina di Majapahit dan Asal-usul Wali Sanga
Orang Cina di Majapahit dan Asal-usul Wali Sanga, tulisan sejarah oleh Sugeng Purwanto

Orang Cina di Majapahit dan Asal-usul Wali Sanga

Orang Cina di Majapahit dan Asal-usul Wali Sanga, tulisan sejarah oleh Sugeng Purwanto
Candi Wringin Lawang, gerbang timur masuk Istana Majapahit di Trowulan Mojokerto. (Foto mojokertokab.go.id)

Orang Cina di Majapahit dan Asal-usul Wali Sanga, tulisan sejarah oleh Sugeng Purwanto

Tagar.co – Orang Cina di zaman Majapahit dijelaskan secara rinci dalam naskah Catatan Tahunan Melayu dalam buku Tuanku Rao tulisan Ir Mangaradja Onggan Parlindungan yang terbit tahun 1964. 

Naskah itu diteliti oleh ahli sejarah dari Belanda H.J. de Graaf dan T.H. Pigaeud. Hasilnya menjadi buku Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centurie: The Malays Annals of Semarang and Cirebon terbit tahun 1984. 

Naskah ini menceritakan pengaruh Kekaisaran Dinasti Ming dengan kehidupan sosial politik di era akhir Majapahit dan lahirnya Kerajaan Demak. 

Orang yang menjalankan misi ekspansi Dinasti Ming ini adalah Laksamana Sam Po Bo, nama lain dari Cheng Ho.

Laksamana Haji Sam Po Bo pada tahun 1407 memimpin armada Tiongkok Dinasti Ming merebut Kukang (Palembang) di Sumatera. 

Kukang adalah tempat komunitas Cina dari Hokian. Para migran orang Cina ini hidup menjadi perampok yang mengganggu keamanan pelayaran. Mereka lantas dihukum mati oleh Sam Po Bo.

Sam Po Bo menempatkan Muslim dari Yunnan mazhab Hanafi membangun kembali Kukang.

Komunitas orang Cina Muslim juga dibangun di Sambas, Malaya, Jawa, dan Filipina. 

Di Jawa orang Cina mendirikan masjid di Ancol Jakarta, Sembung Cirebon, Lasem, Tuban, Tse Tun/Gresik, Jiao Tung/Joratan, Cang Ki/Mojokerto. Ini periode 1411-1416.

Tahun 1413 Armada Tiongkok singgah satu bulan di Semarang untuk perbaikan kapal. Di kota ini Laksamana Haji Sam Po Bo, Haji Ma Hwang, dan Haji Fe Tsin salat di Masjid Tionghoa. 

Masjid ini sekarang menjadi Kelenteng Sam Po Kong Semarang. Bekas mihrab masjid masih ada di kelenteng ini.

Ibrahim Asmorokondi

Enam tahun kemudian Sam Po Bo menempatkan Haji Bong Tak Keng di Campa untuk mengawasi perkembangan komunitas Muslim Cina di Nan Yang (Asia Tenggara). 

Bong Tak Keng kemudian menempatkan Haji Gan Eng Cu di Manila Filipina mengurusi komunitas Tionghoa di situ.

Tahun 1423 Haji Gan Eng Cu dipindah dari Manila Filipina ke Tuban. Dia menjadi duta besar yang melayani komunitas Cina di Jawa, Kukang, dan Sambas. 

Di zaman itu Tuban merupakan pelabuhan utama Kerajaan Majapahit. 

Gan Eng Cu lalu diangkat menjadi kepala pelabuhan Tuban. Mendapat gelar a lu ya dari Raja Majapahit Su King Ta yang memerintah tahun 1427-1447. 

Gelar a lu ya bisa jadi dialek Cina untuk kata Arya, gelar bangsawan.

Lantas siapakah Bong Tak Keng dan Gan Eng Cu ini? 

Kalau dicocokkan dengan babad tanah Jawa nama Bong Tak Keng posisinya mirip dengan tokoh Syekh Ibrahim Asmorokondi yang makamnya ada di Desa Gesikharjo Kecamatan Palang Tuban.

Sedangkan Gan Eng Cu posisinya sama dengan sosok Arya Tejo, Adipati Tuban di zaman Ratu Majapahit Suhita. 

Nama Raja Su King Ta kemungkinan juga dialek Cina untuk Ratu Suhita. Peristiwa ini tercatat tahun 1423 masih di masa dia memerintah.

Naskah itu juga menceritakan Haji Ma Hong Fu ditunjuk menjadi duta besar Dinasti Ming di ibukota Majapahit, Trowulan. 

Dia menantu Bong Tak Keng. Kedatangannya ke Trowulan diantar Haji Fe Tsin yang sudah tiga kali berkunjung ke Keraton Majapahit.

Cerita lainnya, tahun 1430 Laksamana Sam Po Bo merebut Tu Ma Pan. Daerah ini kemudian diserahkan kepada Ratu Su King Ta. 

Tapi dia mengangkat orang Cina muslim Gan Eng Wan menjadi Adipati Tu Ma Pan. Bisa jadi Tu Ma Pan itu adalah Tumapel Singasari. 

Gerbang makam Sunan Ampel terpengaruh gaya Cina. (Tagar.co/Sugeng Purwanto)

Sunan Ampel alias Bong Swi Hoo

Kisah lainnya ada nama Swan Liong, kepala pabrik mesiu di Semarang. Adipati Tuban Gan Eng Cu menugaskan dia menjadi kapten komunitas Cina di Kukang (Palembang). 

Swan Liong ini perwira peranakan Tionghoa dari Cangki (Mojokerto) putra Yang Wi Sa Sa. Ibunya dayang Tionghoa di Istana Majapahit.

Yang Wi Sa Sa mirip dengan nama Hyang Wisesa, gelar Raja Majapahit Wikramawardana menantu Raja Hayam Wuruk. 

Ada nama Bong Swi Hoo, asisten Swan Liong di Kukang pada tahun 1445. Bong Swi Hoo adalah cucu Haji Bong Tak Keng. 

Bong Swi Hoo diantar ke Tuban menghadap Adipati Gan Eng Cu. Setahun kemudian dia dikawinkan dengan anaknya. 

Dalam cerita babad, menantu Adipati Tuban adalah Sunan Ampel. Istrinya bernama Nyi Ageng Manila. 

Nama Manila ini diberikan karena putri itu lahir di Kota Manila sewaktu ayahnya, Gan Eng Cu, bertugas di kota itu. 

Nama Swan Liong sejajar dengan nama Arya Damar atau Arya Dillah yang dalam cerita babad disebut pejabat Majapahit Muslim saudara dari Putri Campa. Arya Damar menjadi Adipati Palembang. 

Swan Liong mengasuh dua anak. Jin Bun dan Kin San. 

Jin Bun itu putra Kung Ta Bu Mi, raja Majapahit dari dayang Cina. Nama Jin Bun populer di sejarah Jawa sebagai nama kecil Raden Patah. Dia keponakan Swan Liong. 

Nama Kung Ta Bu Mi mirip dengan Bhre Kertabumi, nama asli Raja Majapahit Brawijaya V. 

Nama Kin San ini selaras dengan nama Raden Husin, anak Arya Damar dari dayang Cina ibu Jin Bun yang dinikahinya setelah dicemburui oleh Putri Campa dan dibawa ke Palembang.

Nama Bong Swi Hoo semakin jelas identitasnya mirip Sunan Ampel, karena naskah itu menjelaskan dia ditugaskan ke Ngampel Surabaya, setelah bertugas sebagai kapten komunitas Muslim di Jiautung (Bangil).

Namun dalam naskah itu sosoknya digambarkan sebagai pedagang yang memimpin wilayah bukan sosok ulama Islam.  

Pengangkatan Bong Swi Hoo ke Ngampel setelah wafatnya Sam Po Bo, Bong Tak Keng, dan Gan Encu. Ekspansi dinasti Ming ke Nan Yang terhenti karena perubahan politik di Tiongkok.

Wafatnya para pemimpin itu juga mengubah kondisi politik di Nan Yang. Komunitas orang Cina nonmuslim mengambil alih dominasi Cina Muslim. Masjid Sam Po Bo berubah menjadi kelenteng. 

Di kelenteng itu Sam Po Bo didewakan. Dibuatkan patung yang ditempatkan di mihrab. 

Di Ngampel Surabaya posisi ketokohan Bong Swi Hoo makin kuat dan berpengaruh. Dia dekat dengan elite istana Majapahit. 

Jin Bun dan Kin San setelah dewasa dikirim Swan Liong ke Bong Swi Hoo. Jin Bun diberi tanah di Bing To Lo (Bintoro) menjadi adipati di situ. Di tanah ini kelak dia membangun Kerajaan Demak. 

Jin Bun mempunyai anak bernama Yat Sun yang populer dalam sejarah disebut dengan nama Pati Unus. 

Sunan Bonang 

Kin San atau Raden Husin dikirim ke istana menjadi ahli membuat mercon untuk pesta raja Majapahit. Kemudian dia diangkat menjadi Adipati Semarang dan membuka penggergajian kayu dan galangan kapal besar.

Dalam naskah itu menceritakan seorang putra dan bekas murid Bong Swi Hoo datang melihat-lihat galangan kapal  dan Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Keduanya tak bisa berbahasa Tionghoa. 

Apakah dua orang ini adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri? 

Sayangnya di naskah itu hanya disebut sekilas. Padahal dua nama itu sangat terkenal di legenda masyarakat Jawa.

Masjid Demak yang populer dibangun Wali Sanga dengan arsitek Sunan Kalijaga, dalam naskah ini disebut yang membangun para tukang kayu Tionghoa nonmuslim dari galangan kapal Semarang pimpinan Gan Si Cang, anak Gan Eng Cu, Adipati Tuban.

Bahkan soko tatal yaitu satu pilar terkenal Masjid Demak terbuat dari susunan potongan kayu diceritakan dibuat oleh tukang kapal Cina. Padahal di legenda Jawa tiang itu buatan Sunan Kalijaga. 

Soko tatal itu dirangkai menurut konstruksi master kapal jung zaman Dinasti Ming yang disusun sangat teliti. Tiang itu fleksibel dan tahan guncangan.

Sunan Kudus alias Ja Tik Su

Tahun 1513 dilaporkan, pemilik kapal dari Ta Cih, sebutan Arab bagi orang Cina, bernama Ja Tik Su berlabuh di galangan Semarang karena kapalnya rusak. 

Ja Tik Su menemui Kin San dan Yat Sun lalu diantar ke Demak menemui Raden Patah.

Nama Ja Tik Su orang Arab ini bunyinya mirip Jakfar Shodiq. Sosok ini kemudian terkenal sebagai Sunan Kudus setelah membangun Kota Al-Quds. 

Prasastinya ada di Masjid Kudus. Jakfar Shodiq lantas menjadi penasihat Raden Patah dan memberinya gelar sultan.

Kemudian Jakfar Shodiq mengenalkan mazhab Syafi’i kepada sultan dan menyebarkan ke masyarakat. Sejak itu mazhab berganti dari Hanafi ke Syafi’i ketika peran Muslim Cina makin menurun.

Nama Wali Sanga lain yang tidak dikenal dalam naskah ini adalah Sunan Gunung Jati. Sosok ini hanya disebut Panglima Tentara dari Demak bersama Kin San mengunjungi komunitas Cina di Talang dan Sarindil Cirebon. 

Ketika pensiun Panglima Tentara Demak balik ke Talang mendirikan Kerajaan Cirebon. 

Kesahihan Sumber

Di buku Tuanku Rao, Parlindungan menceritakan asal muasal Catatan Tahunan Melayu diperoleh dari pejabat Belanda Poortman, teman karib ayahnya, tahun 1940. 

Dia mengatakan, Poortman pernah menjadi Residen Semarang. Mendapat naskah itu setelah menggeledah arsip di Kelenteng Sam Po Kong Semarang dan Talang Cirebon pada tahun 1928.

De Graaf dan Pigaeud dalam buku Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centurie: The Malays Annals of Semarang and Cirebon terbit tahun 1984, mencocokkan cerita di naskah Cina itu dengan sumber sejarah catatan pelaut Eropa, Cina, surat-surat pemerintah kolonial, dan Babad Tanah Jawi. 

Menurut dia, naskah itu menarik tapi juga meragukan. Meragukan karena naskah aslinya tidak ada. Hanya berupa terjemahan dalam bahasa Melayu dengan tambahan catatan dari Parlindungan sendiri. 

Nama Residen Poortman setelah dicek di catatan administrasi Belanda ternyata tidak ada. 

Cerita dalam naskah Catatan Tahunan Melayu ini ada yang tak sesuai sejarah. Contoh Laksamana Sam Po Bo alias Cheng Ho disebut tinggal sebulan di Semarang. Tapi Catatan Ma Huan, juru tulis Cheng Ho tak pernah menyebutkan berlabuh di Semarang.

Dalam naskah disebut Sam Po Bo meninggal tahun 1431. Padahal antara tahun 1432-1433 dia masih memimpin ekspedisi di negeri-negeri Nan Yang. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *