Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu

0
Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu; Cerpen oleh Kirana Aura Zahy, Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik

Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu (Ilustrasi AI)

Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu; Cerpen oleh Kirana Aura Zahy, Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik
Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu (Ilustrasi AI)

Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu; Cerpen oleh Kirana Aura Zahy, Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah 10 GKB (Smamio) Gresik

I

Tagar.co – Angin memainkan rambut Laut saat duduk di batang pohon ketika sore mau tutup. Mata Laut horizon lurus menembus buih sedikit besar. Dia setia memainkan kakinya di pasir putih. Sesekali tangannya mengambil karang di samping kanan, lalu melemparnya. Byur, Laut menarik napas pelan. 

            “Andai laut ini adalah kehidupanku, pastilah jiwa ini menyatu. Ya, laut sesuai dengan namaku,” desah Laut, ketika embusan angin semakin kencang menerpa bulu matanya.

            Laut masih sendiri. Para nelayan mulai menarik perahunya ke daratan. Beberapa detik kemudian, dia berdiri sambil merentangkan kedua lengan tangan seraya membuka hatinya menyatu dengan angin, air, dan samudera ini.

            “Laut, segera pulang. Angin sudah tidak bersahabat,” teriak nelayan dari kejauhan, sambil menenteng jala.

            Laut tak mempedulikan. Baginya angin sahabat sejati, apalagi dengan laut. Keduanya adalah bestie. Angin dan laut seperti mendung dan hujan. Ketika titik hujan menghujam, pada saat itulah mendung menjadi penyebabnya. Hujan tidak akan tampak, manakala mendung tidak menyelimutinya. 

            Laut masih berdiri sambil menutup matanya, seraya ingin menyatukan kembali dirinya. Ya, laut dan Laut dua dunia, satu jiwa.

            “Laut segera pulang, angin sudah tidak bersahabat!” terikan kedua dari nelayan yang berbeda sambil menenten hasil tangkapan ikannya.

            Laut membuka mata, kaki Laut menyapa bibir laut. Perlahan namun pasti, kakinya terus bergerak. Air laut sudah selutut yang menyebabkan roknya basah. Dia pun tersenyum simpul. “Persahabatan sejati. Menyatu dan bersatu,” katanya lirih dalam hati. 

            “Laut diamlah dalam diriku, maka akan selamanya bersamamu,” Laut menegosiasikan dirinya. “Laut, segera mentas, ibumu sudah cemas. Sore akan berakhir!” teriak nelayan nada tinggi. 

            Laut berbalik arah. Kakinya bergeser ke pasir putih tipis, pelan menyusurinya. Bekas kaki segera hilang diterjang muntahan air laut. 

Baca juga: Jawabanku untukmu, Morin

II

            Usia Laut belum genap 13 tahun. Kalau dia melanjutkan sekolah menengah pertama, mungkin masih duduk di kelas VII. Itulah asal mulai kegelisaan Laut. Teman sepermainan mulai meninggalkannya. Kalau pun dia berada di lapangan, dia hanya menjadi penonton ketika teman-temannya bermain.

            “Ubur-ubur, ambilkan bola itu!” teriak Wicak ke arah Laut yang duduk di bawah pohon ketapang setinggi tiang bendera.

            Laut masih diam dalam duduk.

            “Ubur-ubur, dengar nggak? Payah,” teriak kedua Wicak. Laut berdiri dan meninggalkan teman-teman bermain bola kasti. 

            Sering dijadikan bahan ejekan, hati Laut semakin sempit. Di rumah, dia hanya bisa duduk di pinggir jendela menghadap laut. Matanya menerobos seliweran angin kering.

            “Laut saja sangat kuat, masak hati anakku sempit seperti kuali. Laut harus seperti laut,” Rukmina menasihati Laut. “Tidak usah ditanggapi serius ejekan mereka. Mungkin mereka bercanda, Laut?” Rukmina mendekat sambil memainkan rambut Laut.

            Laut melihat wajah ibunya sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian, dia mendekap ibunya erat. 

            “Laut tidak sedih, Ibu. Laut sama dengan laut, kuat dan perkasa,” ujarnya tersenyum yang disambut ciuman ibunya di kening. 

            Ucapan Laut ini memberikan ketenangan ibunya. Dia sadar, semenjak Laut memutuskan tidak mau lagi melanjutkan sekolah, anaknya lebih sering menyendiri. Percakapan dengan kepala sekolah yang mengatakan Laut memiliki keterlambatan belajar membuat lipatan kepedihan hati Rukmina. “Hanya alasan yang dibuat-buat, padahal pasti berkaitan dengan biaya,” desah Rukmina dalam hati.

            Pagi belum sepenuhnya membuka mata.  

            “Mengapa aku tidak sekolah, Bu?” Dengan wajah datar, Laut bertanya pada ibunya. Rukmina tercengang bukan main. Lama dia terdiam.

            Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab Rukmina. Pertanyaan pendek yang jawabannya sangat panjang, berliku, menukik jantung. Bukan hanya Rukmina, Jarot ayahnya pun memilih diam ketika Laut melontarkan pertanyaan itu. Isi rumah kaku. Beku.

            “Laut membantu ayah dan ibu saja ya di rumah,” tepis Laut membuat hati Rukmina dan Jarot bergetar hebat.

            “Laut bersama Ibu dan Bapak. Laut aman di sini,” kata Rukmina. Jarot pun mendekat ke Laut sambil meneteskan air mata.

            “Mengapa harus ada air mata, Bapak?” Jarot pun cepat-cepat mengusapnya dan membalas sebait senyuman. “Bapak bangga denganmu, Nak.” 

Pagi masih belia. Wajah langit mulai terlihat. Laut berjalan beriringan dengan Jarot. Keduanya menyapa pasir putih dengan kaki. Sesekali Jarot mengejar Laut berlari kecil.

            “Laut, jangan cepat-cepat, bapak tidak kuat berlari.”

            “Kejar aku, Bapak.” Laut semakin mempercepat larinya. 

            Rukmina menangis sejadi-jadinya melihat suami dan Laut bermain. Dia mengusap air mata dengan selendang kumal melingkar di leher. 

            “Tuhan, jadikan Lautku seperti laut-Mu yang perkasa dan sempurna,” doanya sambil menutup jendela berukuran mini itu.

            Brakk!

III

            Jarot duduk nomor dua dari depan. Rembug Kampung Nelayan yang awalnya datar-datar saja, mendadak mulai meninggi tensi bicaranya. Obrolan antara warga dengan Wagi, kepala desa, semakin meruncing. Jam dinding menunjukkan angka sembilan malam. Belum ada tanda-tanda mau berakhir. Paling tidak meredahkan grafik pembicaraan. Raut wajah mereka semakin tidak beraturan.

            Malam itu, Jarot melihat tanda-tanda ada yang tidak beres. Pasti ada sesuatu, pikir Jarot. Obrolan mereka tak terkenali. Semakin memuncak, meruncing, dan menukik terkait bahasan minimnya tangkapan ikan. 

            “Coba Bapak bayangkan, kita melaut mulai malam sampai malam lagi, tangkapan kita tidak bertambah. Trus istri dan anak kita mau kita kasih makan apa?” kata Tranggono dengan lantang. Lelaki jangkung berwajah bulat itu naik pitam. Sepasang matanya mengkilat. Tranggono semakin menjadi-jadi menyuarakan isi hatinya. “Demi kelangsungan kehidupan, kita harus lakukan ini,” teriak Tranggono. Peserta rembuk pun menyetujui.

            Dada Jarot meledak bersama luapan berapi-api Tranggono. Malam semakin terbenam menegangkan.

            “Tidak boleh, Bapak!”

            Laut berdiri ketika Jarot belum selesai bercerita. Kalau itu benar-benar dilakukan, katanya, hati mereka benar-benar mati. Mereka tidak boleh semena-mena dengan laut yang tidak bersalah. Laut tidak pernah berbuat khilaf, apalagi punya dosa dengan warga selama ini.

            “Yang ada, malah mereka sering sakiti laut,” Laut marah.   

            Laut membuka jendela. “Bapak Ibu, coba lihat!” Laut mengarahkan telunjuk ke arah laut. Dia tidak pernah menyakiti atau membuat kita miskin. Laut memberikan terbaik bagi kita.

“Ini egois!” Laut kecewa. “Mereka mementingkan diri sendiri, tanpa mengerti keadaan laut sesungguhnya.”

            Laut keluar rumah, berlari ke tepi laut. Jarot dan Rukmina masih terpaku dalam diam. Mereka saling berpandangan. Dari kejauhan, Laut terlihat duduk di garis batang pohon.

            Gelombang masih bermain dengan angin. Pipi Laut basah oleh air mata. Pandangan sayu dan napasnya tersengal-sengal. Dia menatap kuat ke arah laut. Mendung berangsur menebal. Laut masih menguatkan diri duduk.

            “Mari pulang, Nak!” ajak Rukmina.

            “Ibu, kalau nelayan bersikukuh menggunakan caranya, bisa jadi semua akan mati. Ikan mati, apalagi terumbuh karang bisa musnah. Mereka membunuhnya. Laut sedih, Bu,” tangisan Laut semakin lantang.

            “Laut, ibu mengerti. Bapak dan ibu tidak setuju dengan pemikiran nelayan yang lain,” katanya.

            “Ayo, pulang. Mau hujan,” ajak Rukmina sambil memegang pundak Laut. 

            Seandainya, benak Laut, ikan dan terumbu karang itu bisa teriak, bunyinya lebih lantang dari halilintar. Laut berjalan gontai sambil kepalanya disandarkan ke dekapan ibunya. 

IV

            Burung albratos beterbangan di atas laut mencari mangsa. Berputar-putar. Beberapa kapal nelayan mulai menepi dan menurunkan hasil tangkapan. Mereka tersenyum lebar, perahunya penuh ikan. 

            “Hasil tangkapannya banyak ya, Pak.”

            Istri para nelayan berwajah gembira. Mereka pun terus menebar senyuman. Pagi siang malam. “Nenek moyangku orang pelaut, hasil tangkapannya melimpah ruah. Tralala trilili.” Mereka bernyanyian ketika berangkat melaut.

            “Pasti tangkapan kita akan berlipat-lipat lagi,” kata Warih sambil mendorong perahu ke tengah laut.

            “Apakah semua peralatan sudah dibawa semua?” Tranggono melirik Warih. Dia  mengangguk keras sambil acungkan jempol.

            “Kita coba arahkan layar kita ke wilayah yang berbeda, biar tangkapan kita bisa lebih gokil,” Tranggono memerintahkan. Warih tersenyum. Angin membawa mereka ke garis laut. 

            Jarot masih tidak percaya dengan keputusan aneh para nelayan. Selama ini, usahanya terasa sia-sia. Mereka kurang sabar. Mereka ingin mendapatkan hasil tanpa memikirkan nasib laut.

            “Bapak harus bertindak,” cegat Rukmina melihat Laut tidur pulas di amben bambu.

            “Dengan apa, Bukne?”

            “Menyampaikan ke yang berwajib.”

            “Siapa?” Jatot mondar-mandir, gelisah.

            “Kok malah tanya pada ibu?”

            “Itu dia, yang Bapak tidak tahu,” Rukmina memandangi Jarot yang masih bingung.

            Jarot merasa jerih payahnya sudah tidak dihargai warga. Dulu, usahanya pernah diacungi jempol nelayan, bahkan pemerintah daerah. Jarot dianggap sebagai pahlawan karena telah membuat rumah ikan yang berakibat meningkatnya tangkapan nelayan.

            Jarot pun diberi penghargaan. Diundang ke beberapa kampung nelayan untuk memberikan edukasi tentang terumbuh karang. Sampai-sampai pemerintah kota memanggil ke pendopo untuk mendapatkan selembar penghargaan.

            “Itu dulu,” kata Jarot ke Laut yang mendengarkan ceritanya, di samping perahu.

            “Mengapa mereka sekarang menggunakan cara lain yang menyakitkan laut, Bapak?” tanya Laut serius.

            “Ya, mereka tidak sabar. Mungkin juga karena tuntutan ekonomi.”

            “Maksudnya?” tanya Laut lagi.

            “Ya, mereka butuh uang yang banyak, tapi tidak memikirkan dampaknya.”

            “Ini tidak adil, Bapak.”

            “Maksud, Laut?”

            “Iya, mereka mendapatkan keuntungan, tetapi menyebabkan laut sakit.”

            Kepala Jarot seperti dibenturkan ke tiang listrik. Pening dan berat. Kegelisaan Laut semakin semburat. Beberapa kali menarik napas pendek. Matanya menyala. Langit malam semakin hitam. Tak satu pun bintang bermain di malam ini. 

            “Mungkin langit juga melihat kesedihan laut,” gelisah Laut dalam hati.

Baca juga: Perginya sang Muazin

V

Laluna bergegas menuju ke SMP yang berada di dekat tempat pelelangan ikan (TPI). Bersama-sama dengan keempat temannya, dia mengumbar senyuman ketika berpapasan dengan warga sekitar. 

“Anak-anakku, sekolah kita kedatangan mahasiswa KKN dari universitas terkenal. Universitasnya ada di kota besar, lho,” perkenalan Bu Warsi, Kepala SMP Karang Sumanding sehabis upacara bendera. Sontak, puluhan siswa sorak-sorai. 

Ini adalah pengalaman perdana Laluna terjun ke desa, khususnya desa yang mayoritas warganya nelayan. Setelah membantu mengajar di kelas, sorenya Laluna dan teman-temannya memberikan kelas tambahan pelajaran.

“Siapa yang tahu, di dalam laut itu ada apa saja?” tanya Laluna.

“Ya pasti ikan, Bu,” jawab Wulan tersenyum.

“Ada apa lagi?”

“Air,” jawab Ningsih cepat.

“Apa lagi?” Semua siswa diam, saling pandang. Laluna tersenyum melihat ulah anak-anak ketika mendapat pertanyaan ketiga tersebut.

“Di laut itu ada harta karun,” jelas Laluna yang membuat ana-anak saling pandang dan tertawa seketika.  

“Coba dengarkan, kalau tidak ada harta karun, pastinya orang tua kalian semua sudah pindah kerja. Orang tua kalian bisa ke kota untuk kerja di pabrik, tukang cuci mobil, tukang batu, atau apa saja. Harta karun di laut itulah yang dicari orang tua kalian.”

Laluna menjelaskan tentang terumbu karang dan biota laut. Anak-anak mendengarkan seksama. Wulan yang duduk di bangku paling depan terdiam sambil terus mendengarkan cerita Laluna.

“Siapa yang bisa antar kakak ke laut besok sore?”

“Saya, Kak,” jawab Wulan cepat. Laluna memandang wajah Wulan seksama. 

“Terima Kasih, Wulan.” 

Azan Asar berkumandang dari surau kampung. Beberapa warga mulai berdatangan ke surau hijau yang berkapasitas kurang lebih 50 jemaah ini. Meskipun kecil, surau ini terasa nyaman. Beralaskan tikar daun pandan, semilir angin membuat jemaah betah. Dengan langkah cepat, Laluna menuju tempat wudu. 

 “Sekarang atau menunggu nanti, Kak?” tanya Wulan ke Laluna yang mencoba merapikan mukena.

“Sekarang.” Laluna berdiri dan memasukkan mukenake ransel merah.

Wulan pun mengajak Laluna menyusuri gang demi gang perkampungan nelayan. Sesekali Laluna mengerutkan hidungnya ketika membau ikan yang dijemur. Langkah Wulan semakin cepat, Laluna pun terus mengikutinya dari belakang.

“Kamu asli sini, Wulan?” tanya Laluna. Wulan mengangguk memberikan jawaban tanpa menoleh ke Laluna.

“Masih jauh perjalanan kita,” tanya Laluna sambil membetulkan tas ranselnya.

“Dekat.” Laluna melemparkan pandangan ke depan. Laut terhampar dengan indah. Laluna takjub menyaksikan laut di depannya.

“Kita sudah sampai,” ujar Wulan sambil menoleh ke belakang. Laluna tidak ada di belakangannya.  

“Indah sekali,” ucap Laluna yang sudah berada di depan Wulan. Wulan menggeleng-gelengkan kepala. 

“Tapi sayang, nelayan di sini sudah tidak sayang lagi dengan laut.”

“Maksud kamu Wulan?” Laluna ingin tahu. Wulan pun bercerita tentang kebiasaan nelayan menangkap ikan. Laluna mendengarkan cerita Wulan, gadis kecil berambut terurai sebahu itu.

Trus, siapakah Laut itu?”

“Dia temanku, tetapi memutuskan tidak sekolah karena sering diejek teman-teman di sekolah. Dia baik, kebiasaan kalau sore selalu duduk di tepi laut. Ayahnya bernama Jarot. Bapaknya dulu menjadi ketua nelayan di desa ini, tetapi sekarang dikucilkan warga karena dianggap menghalang-halangi keinginan warga.”

“Ada masalah apa?” Laluna bertanya. 

Wulan pun menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Kak.”

“Apakah bisa kakak diantar menemui Laut?” pinta Laluna penuh harap. Wulan terdiam. Laluna terus merayu Wulan supaya mau mengantarnya.

            “Terima kasih, gadis cantik,” tukas Laluna setelah Wulan memberikan kode dengan anggukan.

VI

            Semenjak itu, Laluna selalu menghampiri Laut di pingir laut ketika sore. Tidak lupa, dia selalu memberikan permen lolipop ke Laut. 

            “Kakak sayang nggak sama laut?” tanya Laut sambil menatap ke arah Laluna. 

            “Kenapa tanya kayak gitu?”

            “Jawab aja, Kak?” Laluna lalu menganggukkan kepala. 

            “Jadi benar, warga di sini telah jahat dengan laut?” Laluna menatap Laut. 

“Laut disakiti? Laut dijarah. Laut dicampakkan?”

            “Semuanya. Sampai-sampai bapak juga disalahkan oleh warga. Padahal, bapak telah berusaha semaksimal mungkin membuat terumbu karang supaya tangkapan nelayan bisa berlimpah.”

            Laut memainkan gelang karet warna hitam di pergelangan tangan kiri yang bertulisan semesta warna emas,sambil matanya menatap hamparan laut. Laluna terus memandang Laut dengan takjub. Sesekali dia mencuri perhatian pada tahi lalat yang ada di pipit, dekat dengan lesung pipi Laut.

            “Boleh, Kak ikut ke rumah Laut?”

            Laut masih memainkan gelang karet. Dia berdiri dan melangkahkan kaki. Jemari kakinya menyentuh air. Dia jongkok sambil menggenggam pasir putih.

            “Kasihan ayah,” keluh Laut sambil menatap Laluna dalam. Angin memainkan rambutnya.

            Laut menggandeng tangan Laluna menyusuri tepian laut. Tidak sampai tujuh menit, Laluna sudah berada di teras rumah Laut. Atap dari jerami tertata rapi. Rumah dengan warna biru laut, terlihat sederhana. Jendela kecil dengan bingkai warna merah muda. 

            “Ayah di belakang rumah, Kak bisa ke sana melihat aktivitas bapak.” Laluna langsung bergerak ke samping kanan teras. Kakinya melewati jemuran jaring ikan yang ditambatkan di dinding kayu. Tumpukan batok kelapa meninggi sejajar di sampingnya. 

            “Kamu Laluna?” Jarot menyapa. 

            “Bapak sudah dengar dari Laut. Ada anak KKN di desa ini.”

            Tangan Jarot menata batok kelapa dan paralon bekas. Satu per satu batok kelapa yang sudah dipotong kecil dimasukkan dalam paralon bekas. Setelah itu, dia mulai mengecor dengan adukan semen yang tidak terlalu encer. 

            “Ini untuk rumah ikan, Pak?”

            Jarot mengangguk. Laluna pun dengan sigap membantu Jarot memasang satu per satu paralon, setelah menjemurnya. Matahari mulai menyingsing. Wajah Laluna memerah akibat terpaan angin laut. 

VII

            Perahu Jarot melaju sedang. Angin menerpa wajah Laluna dan Laut. Sesekali tangan Laut menyapa air sehingga menimbulkan percikan. Laluna pun meniru apa yang dilakukan Laut.

            “Masih jauh tempat menambatkan rumah ikan ini, Laut?” Laut mengangguk sambil menunjukkan arahnya. Laluna membalas dengan senyuman.

            Satu per satu rumah ikan diturunkan Jarot. Laluna dan Laut pun ikut serta melepas rumah ikan. Sekitar 15 yang diturunkan.

            “Sekitar setahun, rumah-rumah ini penuh dengan terumbu karang yang akan menjadi rumah ikan,” kata Jarot sambil merapikan tali.

            “Tempat itu nantinya menjadi rumah ikan cakalang, tenggiri, sarden, teri, kakap. kerapu. Bahkan ribuan ikan hias bisa meninggalinya. Nantinya remaja kampung bisa panen untuk pendapatan musala,” Laut menatap Laluna.

            Angin laut mengantarkan perahu menuju ke tepian. Tidak terasa sekitar tiga jam Laluna melihat aktivitas Jarot dan Laut membuat istana ikan. “Kalau semua nelayan seperti Pak Jarot, laut tidak akan sedih,” gumam Laluna dalam hati.

            Matahari berada di sisi barat. Temaramnya sedikit melemah akibat mendung tipis. Laut mengajak Laluna berjalan ke arah selatan dari rumahnya. Melewati puluhan pohon kelapa tinggi menjulang. 

            “Aku paling suka menghabiskan sore sebelum azan di geladak pelangi yang sering dijadikan tambatan nelayan habis melaut ini.”

            Laut ditemani Laluna duduk di tepi geladak. Keduanya asyik bercengkrama sambil memainkan kakinya yang hampir menyentuh permukaan air. Beberapa meter darinya, perahu nelayan tertambat rapi. Bendera warna-warni berkibar dimainkan angin, begitu pun burung camar berputar-putar mendekat.

            “Laut,” teriak nelayan yang barusan menyandarkan perahu. Laut membalas dengan lambaian tangan. Laluna takjub dengan Laut. Terasa laut dan daratan ini miliknya. Berkali-kali Laluna mencuri pandang ke arah wajah Laut yang menerawang jauh.

            “Dulu, kakak juga pernah memiliki adik seusia Laut.” 

Laut memandang Laluna sambil tersenyum tanya.

            “Ke mana adik, Kakak?” 

            “Tujuh tahun lalu dinyatakan hilang akibat kecelakaaan kapal yang ditumpangi ayah ibu dan belasan rekan kerja yang sedang berwisata. Jenazah ayah ibu telah ditemukan, tapi adik kakak dinyatakan hilang. Sampai sekarang belum ditemukan,” Laluna bercerita, matanya berkaca-kaca.

            “Dia cantik seperti Laut,” Laluna menarik napas dan sambil meneruskan bercerita. 

            Aku tinggal di kota bersama paman dan bibi. Mereka menjadi orang tua angkatku semenjak peristiwa itu. Seakan hidupku telah berakhir, ketika aku masih di bangku SMA. Seakan-akan sudah tidak ada lagi harapan, semua rungkad,runtuh. 

            “Ada kemungkinan adik kamu masih hidup, Luna,” kata bibi, menyemangatiku ketika suatu malam di kamar. Akupun menganggap itu hanya ujaran pelipur lara semata. 

            Satu dua tahun setelah kejadian itu, semangatku mulai tumbuh lagi. Sudah mulai semangat berangkat sekolah, sampai aku bisa melanjutkan di Universitas Negeri Jurusan Kelautan ini. Laluna berhenti bercerita. Nelayan pun sudah meninggalkan laut.

            “Gelang itu milik Laut?” tanya Laluna pendek. Laut menatap Laluna sambil menganggukan kepala. Laluna tersenyum gembira. Saat mata Laut mengarahkan ke perahu berwarna merah, Laluna melihat isi tas merah. Tangannya melihat benda yang selama ini tersimpan rapi di dekat diarynya.

            “Semoga Laut ini adalah cintaku yang selama ini aku cari,” doa Laluna.  

VIII

            Mobil aparat berhenti di depan balai desa. Beberapa orang berpakaian dinas masuk cepat. Terlihat mereka mengadakan pembicaraan penting. “Mereka memaksa, Pak. Kami sudah melarang. Benar, Pak. Ini notula rapatnya,” Wagi menyodorkan map merah. Salah satu aparat dengan sigap membolak-balik lembar kertas.

IX

Perahu Jarot melaju bersama angin. Laut duduk bersama 20 rumah ikan di buritan. Sementara itu, tubuh Laluna bergoyang di mobil. Wajahnya menempel di kaca samping mobil. Titik gerimis tidak menghilangkan lamunan dia ke Laut. “Laut, aku akan kembali. Tunggu, Sayang.” 

X

Laut menyelam dalam. Semakin dalam ke jantung laut. Perahu Jarot menunggu Laut, bergoyang diterpa angin. (*)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *