Tagar.co

Home » Perginya sang Muazin
Perginya sang Muazin; Cerpen oleh Sugeng Purwanto
Perginya sang Muazin; Cerpen oleh Sugeng Purwanto
Perginya sang Muazin (Ilustrasi freepik.com premium/Sugiran)

Perginya sang Muazin; Cerpen oleh Sugeng Purwanto

Tagar.co – Musala di ujung kampung itu tampak mungil dengan atap limas bergaya minimalis. Berada di tepi telaga, musala itu dikelilingi halaman yang tak seberapa lebar.  Lima pohon cemara menghiasi di sisi kanan musala yang juga berfungsi sebagai pagar pembatas dengan jalan. Ujung pohon cemara yang lancip tampak menjulang seperti menusuk langit jika dilihat dari kejauhan. 

Dari loud speaker yang dipasang di ujung atap, suara Cak Nasir, muazin dan marbot musala, bergema lima kali sehari. Suara azannya pendek, tapi nadanya mendayu. Orang yang mendengar azan itu pasti tercenung sejenak karena haru. 

Karena itu suara azan dia disukai warga. Bahkan lama-lama azannya dijadikan penanda waktu meskipun mereka sudah mempunyai jam dinding. 

Akhirnya karena kebiasaan, warga lebih percaya suara azan Cak Nasir dianggap paling akurat sebagai penunjuk waktu. Maka jam dinding, weker, atau arloji yang dimiliki warga hanya hiasan belaka. 

Karena itu warga segera terbangun dari lelap tidurnya ketika suara azan Subuh Cak Nasir memecahkan kesunyian gelap pagi yang dingin. 

Ibu-ibu segera mencari anak-anaknya yang belum pulang dari bermain ketika azan Duhur terdengar.

Saat azan Asar bergema, warga bangun dari tidur siangnya. Ibu-ibu segera membersihkan rumah, para lelaki pergi ke warung menikmati sore yang hangat dengan kopi. 

Azan Magrib berkumandang, mereka segera menyuruh anak-anaknya pergi mandi. Setelah itu memerintahkan anaknya belajar. Hingga azan Isya terdengar, warga tahu itu saatnya makan malam. 

Begitulah irama hidup warga kampung yang diatur oleh suara azan Cak Nasir. Tapi suasana itu malah membuat hati dan pikiran Cak Nasir, sang muazin, makin kusut dan nelangsa. 

Dia merasa frustrasi sebab suara azannya tidak mampu menggerakkan kaki warga pergi ke musala untuk salat berjemaah.

Berkali-kali dia menyeru warga agar mau salat berjemaah. Tapi yang datang rutin hanya empat orang. Itu pun dua orang murid mengajinya, seorang tukang becak, dan seorang pemilik warung kopi. Pemilik rumah di sekitar musala tak mau datang. Apalagi yang rumahnya jauh.

”Saudara-saudara, Nabi Muhammad menetapkan azan itu sebagai panggilan salat. Tidak meniru lonceng seperti Nasrani atau terompet seperti Yahudi,” kata Cak Nasir saat pengajian Maulid Nabi. ”Karena itu bergegaslah ke musala untuk salat berjemaah ketika mendengar azan.” 

Namun warga juga pintar berdalih. ”Cak Nasir, saya juga berjemaah di rumah bersama istri dan anak-anak. Bukankah menjadi imam salat dalam keluarga juga anjuran Nabi?” kata satu jemaah.

”Ustad Nasir, saya membangun musala di rumah, jadi saya manfaatkan untuk jemaah keluarga,” ujar lainnya.

”Cak Nasir, bukankah kami kaum perempuan, kata Nabi lebih afdal salat di rumah?” seru  jemaah wanita.

”Tapi lebih afdal lagi kalau salat berjemaah di musala ini. Kita bisa saling bertemu, bersilaturahmi, tahu kabar tetangga,” kata Cak Nasir.  

”Lagi pula buat apa saudara membangun musala di kampung dan meminta saya mengurusnya kalau tidak salat berjamaah?”

”Permukiman itu lebih afdaada musalanya, Cak. Lebih islami gitu lo,” sahut jamaah lagi. 

”Soal silaturahmi dan tegur sapa kita bisa lewat grup WA, FB, IG,” ujar tetangga itu.

Cak Nasir terpana. Dia seperti kehabisan kata-kata. Semua orang sudah punya dalih. Maka pengajian Maulid Nabi usai berlalu begitu saja.

Situasi musala tetap sepi. Suara azan Cak Nasir masih terdengar mendayu lima kali sehari. Warga pun tetap terharu mendengarnya dan menjadikan patokan waktu sehari-hari. Tapi tak menggerakkan kaki mereka menuju musala.

Suatu malam, jauh sehabis salat Isya, seorang lelaki mendatangi musala. Cak Nasir sedang membaca al-Quran di biliknya di sebelah mihrab. 

Lelaki itu menuju tempat wudhu setelah melepas sepatu dan meletakkan ranselnya. Pakaiannya lusuh, wajahnya kuyu seperti kecapaian dalam perjalanan jauh. Tampaknya dia berjalan kaki.   

Setelah berwudu, dia masuk musala mengerjakan salat. Lama setelah salat, lelaki itu merebahkan diri di atas karpet yang empuk. Dia meluruskan punggungnya, menyelonjorkan     kedua kakinya lurus-lurus, merentangkan tangannya. 

Matanya dipejamkan merasakan nikmatnya berbaring di karpet itu seolah-olah sudah lama tidak merasakan nikmatnya berbaring seperti ini.

Lama lelaki itu berbaring, tanpa terasa akhirnya jatuh tertidur. Menjelang tengah malam, Cak Nasir keluar karena mendengar suara ngorok di dalam musala. Cak Nasir melongokkan kepala mencari asal suara ngorok

Dilihatnya lelaki itu lelap tidur. Dia mendekat dan memperhatikan wajahnya. Dia tidak mengenalnya. Bukan warga sini. Musafir yang kemalaman, pikirnya. Dibiarkannya lelaki itu tidur pulas. 

Menjelang Subuh, Cak Nasir terbangun. Sepertinya ritme tubuhnya sudah sinkron dengan waktu-waktu salat sehingga tidur sepulas apa pun tubuhnya secara kimiawi berproses mengirimkan sinyal-sinyal ke otak dan kesadarannya untuk bangun.

Dia melihat lelaki itu sudah bangun. Duduk di teras menikmati udara dingin yang mengalir dari telaga. Aroma daun cemara yang semerbak di sekitar musala telah menyegarkan kepala dari kelesuan.

Melihat Cak Nasir keluar bilik, lelaki itu bangkit mengucapkan salam. ”Saya minta maaf tidak izin dulu untuk tidur di sini,” kata lelaki itu.

”Saya lihat Sampeyan tidur pulas, saya maklum. Sampeyan lelah. Lagi pula musala ini terbuka untuk musafir,” jawab Cak Nasir.

”Terima kasih. Nama saya Mustafa. Sekarang saya minta izin untuk mandi,” kata lelaki itu. 

Tanpa banyak bicara Cak Nasir mengizinkan. Dia sendiri mengambil air wudu sebelum berazan. Subuh itu salat berjemaah bertambah satu orang. Lelaki musafir itu.

Usai sarapan nasi pecel Mak Tun, tamu itu pamit pergi. Cak Nasir tidak menahannya. Juga tidak bertanya mau ke mana. Dia biarkan tamunya dengan urusannya sendiri. 

Hari pun berjalan seperti lazimnya hingga saat waktu Asar tiba. Cak Nasir sudah bersiap-siap menyalakan amplifier untuk azan. 

Tiba-tiba pintu musala didobrak. Suara gedebrak keras membuatnya melompat. Dia melihat banyak polisi berompi hitamdan berhelm masuk dengan menodongkan senapan. ”Angkat tangan! Tiarap!” perintah seorang polisi dengan keras kepadanya. 

Cak Nasir tersentak. Diam seperti patung. Polisi-polisi langsung mendorong dan menjatuhkannya ke lantai. Ujung senapan menekan tengkuknya. Hatinya takut luar biasa. 

Badannya gemetaran. Mulutnya terkunci tak mampu bicara. Polisi memborgol tangannya. Kemudian terdengar bentakan keras, ”Di mana temanmu?”

Dia makin takut dan bingung. Teman yang mana? Dia tak bisa membuka suara. Polisi-polisi itu langsung mencengkeram bahunya. 

”Laki-laki yang kemarin mengunjungimu, kau sembunyikan di mana?” tanya seorang perwira.

”Saya tidak tahu….” suara Cak Nasir bergetar karena sangat takut.

”Kalian merencanakan apa saja semalam?”

”Dia hanya salat dan tidur…”

”Bohong!”

Polisi memborgol tangannya. Lalu menyeretnya keluar. Di halaman, Cak Nasir melihat musala sudah dikepung polisi. Polisi lain menggeledah setiap ruang. Termasuk ruang tidurnya. Semua buku-buku agama dibawa. Barang-barang lain yang dicurigai juga dibawa. 

Di sudut-sudut kampung banyak polisi berjaga dengan senapan. Dia heran kapan polisi-polisi itu datang. Tidak terdengar suara derum truk dan mobil. Tiba-tiba saja sepasukan polisi sudah berdatangan. 

Mata Cak Nasir nanar menatap sekelilingnya. Dia melihat samar-samar warga bergerombol menonton dari kejauhan. Wajah mereka sama seperti dirinya tampak bertanya-tanya ada apa gerangan kejadian ini. Tapi tidak ada jawaban. Polisi langsung menggelandang Cak Nasir ke markas Polisi.

Warga kampung heboh sore itu. Seperti disambar petir. Cak Nasir teroris! Peristiwa itu menjadi perbincangan. Semua warga keluar rumah saling bertemu dengan tetangganya. 

Mereka asyik mengobrol. Tukar kabar karena lama tidak bertemu. Mereka keluarkan kursi, meja ke jalan untuk duduk bercengkerama. Lalu ada suguhan teh, kopi, camilan, dan gorengan. Malam terus berlalu, kampung itu suasananya mirip seperti hajatan.

Ada orang yang langsung memaki-maki Cak Nasir. ”Kampung kita tercemar, kita usir dia,” katanya. ”Siapa orang yang dulu membawa dia ke sini?” ujarnya dengan geram.

”Ya kita tidak butuh imam salat. Lagi pula dia tajwidnya jelek,” kata yang lain.

”Dari mana kamu tahu tajwidnya jelek, kamu gak pernah ke musala,” sergah lainnya.

”Katanya Haji Saleh!”

”Lo, Haji Saleh juga gak pernah berjemaah, dari mana dia tahu tajwid Cak Nasir jelek?”

”Gak tahulah, gak perlu dibahas.” 

”Kau percaya dia teroris?”

”Tidak! Wong dia tampak biasa-biasa saja.”

”Lalu kenapa polisi menuduhnya teroris?”  

Tanpa terasa hari pun beranjak malam. Mereka terkejut. Waktu kok berjalan cepat tanpa disadari. Mereka pun heboh lagi. Merasakan ada sesuatu yang hilang. Mereka mencari-cari sesuatu yang hilang itu. 

”Cak Nasir …  Cak Nasir… kita kehilangan Cak Nasir,” teriak seseorang. 

Semua orang pun melotot kepadanya. ”Orang sekampung sudah tahu kalau Cak Nasir ditangkap polisi!” sergah warga serempak.

”Maksud saya, kita kehilangan suara azan Cak Nasir. Bukankah suara adzan itu yang selalu mengingatkan soal waktu?”

Warga pun terhenyak. Mereka kehilangan waktu setelah hilangnya Cak Nasir. 

Ya, waktu Asar, Magrib, Isya berlalu begitu saja tanpa disadari sejak tidak ada lagi suara azan. Mereka khawatir esok pagi akan terjadi kekacauan karena tidak ada suara azan Subuh Cak Nasir.

”Kita harus menuntut Cak Nasir dibebaskan!” Warga pun sepakat. Sejumlah alasan dan tuntutan dirumuskan. Mereka sudah lupa mau mengusir Cak Nasir.  

Kemudian warga beramai-ramai mendatangi markas Polisi. Membentangkan spanduk, pamflet, dan berorasi pembebasan Cak Nasir.

”Polisi salah tangkap. Cak Nasir bukan teroris,” kata warga berorasi. ”Lihat, dia tidak berjenggot, tidak bergamis, celana pun tidak cingkrang, dia suka bergaul dengan warga, tidak tertutup, mengajarkan hal baik. Dia bukan tipe teroris. Karena itu bebaskan!” kata sang orator.

Warga yang lain menambahi, ”Bebaskan muazin kami. Tanpa azan dunia sepi! Kampung kami jadi sunyi!”

Seorang opsir  polisi menemui warga. Dia menerima kertas tuntutan. ”Saya sudah terima tuntutan saudara. Saudara Nasir belum bisa dibebaskan. Masih kita selidiki. Kalau dia bukan teroris pasti segera pulang,” katanya kepada warga.

Demonstrasi pun bubar. Malam itu warga tidak dapat tidur di rumah. Waktu seolah-olah berhenti. Mereka menunggu-nunggu kumandang azan sebagai tanda berputarnya waktu.  Tapi yang ditunggu tak kunjung terdengar. 

Hingga waktu Asar, warga dikejutkan raungan sirene mobil ambulans menembus kampung. Ambulans berhenti di halaman musala.

Diliputi penasaran, warga kampung bergegas ke musala ingin mengetahui apa yang terjadi. Pintu belakang mobil ambulans terbuka. 

Empat orang kekar mengeluarkan peti panjang. Sepertinya peti mati. Segera digotong dan diletakkan di teras. 

Murid-murid Cak Nasir yang menunggui musala tertegun memandangi peti mati itu. Tanpa menunggu pertanyaan, seorang kekar tadi menyodorkan kertas untuk ditandatangani oleh murid Cak Nasir.

”Apa ini?” tanya murid Cak Nasir.

”Surat penyerahan jenazah.”

”Jenazah siapa?”

”Saudara Nasir.”

Warga terkesiap mendengarnya. ”Cak Nasir mati?” hampir bersamaan mereka bertanya.

”Ya. Serangan jantung. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani. Langsung dikubur saja. Tidak usah dibuka.”    

Setelah mengatakan itu mereka masuk ambulans kemudian pergi membiarkan warga diliputi banyak pertanyaan.

”Teroris tidak boleh dikubur di kampung ini…” kata seorang warga.

”Tapi dia sudah mati, kewajiban kita menguburnya,” jawab yang lain.

”Ini bikin cemar kampung …”

”Lantas dikubur di mana, apa kampung lain mau menerima?”

”Dibakar saja.”

”Ngawur. Mayat Muslim tidak boleh dibakar.”

Warga terus berdebat hingga malam membiarkan peti mati tergeletak di teras musala berselimut kelam.  (#) 

Penyunting Ichwan Arif

Related Posts

2 thoughts on “Perginya sang Muazin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *