Tagar.co

Home » Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah
Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah, Oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 Gresik Kota Baru.

Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah

Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah, Oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 Gresik Kota Baru.
Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah (Ilustrasi freepik.com premium)

Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah; Kolom oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) Gresik Kota Baru.

Tagar.co – Pro kontra sastra masuk kurikulum sekolah menjadi pembicaraan hangat menjelang pergantian tahun pelajaran 2023-2024 ke 2024-2025.

Di balik pro kontra ini, sebaiknya kita berkenalan lebih dekat dengan sang Sastra biar mengenal dan mengetahui, siapa sih dia dan bagaimana ‘visi-misinya’. 

Perkenalkan, nama saya Sastra. Dulu, materi saya mendompleng di pelajaran Bahasa Indonesia. Ya, walaupun cuma sedikit, tetapi saya samar-samar dikenal melalui karya Siti Nurbaya, Atheis, Robohnya Surau Kami, Di bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, dan karya masterpiece lainnya.

Ya, walaupun siswa hanya suka membaca sinopsis dan melakukan apresiasi melalui unsur instriksiknya semata, tetapi saya sudah mulai dikenal. Ditambah lagi, beberapa novel tersebut diangkat le layar lebar. Saya merasa senang dan bangga. Ternyata nama saya mulai dikenal, walaupun masih di bagian permukaannya saja.  

Dulu, bacaan materi saya hanya sebatas ketika pembelajaran di kelas. Materi bahasa Indonesia lebih berbasis teks dan unsur kebahasaannya saja. Sastra mulai terpinggirkan. Tak ayal, bacaan sastra lambat laun semakin ‘miskin’ di mata siswa. 

Saya semakin hilang kendali karena siswa sekarang lebih mengenal film horor dan teks novel chicklit, genre novel populer yang ditujukan untuk pembaca dewasa muda berusia sekitar 16–25 tahun. 

Dengan cover teks yang menawan, nama tokoh superbeken dan dibumbui roman anak muda, kayaknya, sastra kehilangan jati diri. Minat baca bisa dikata terkendali tetapi, nilai amanah, empati, dan nalar terasa sulit. Kalau pakai ungkapan, jauh panggang dari api, bisa mewakilinya. Saya sedih dan meneteskan air mata. 

Ketika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) meluncurkan sastra masuk kurikulum, Senin (20/5/2024) sebagai upaya memperkenalkan terhadap beragam karya sastra yang merentang dari masa ke masa, semangat saya melangit dan berharap jati diri itu meraja lagi. 

Kegembiraan itu semakin riang seperti anak kecil yang diajak orang tua ke pasar malam lihat bianglala, komedi putar, bahkan rumah hantu, ketika terdapat ratusan judul karya sastra yang direkomendasikan. 

Mulai dari puisi, cerpen, hingga novel yang lahir dari pergumulan kreatif maestro sastrawan terkemuka Tanah Air. Sebut saja Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Ashadi Siregar, Seno Gumira Ajidarma, hingga Iwan Simatupang. 

Secara pribadi, saya mengapresiasi strategi ini. Mengenalkan saya sebagai suatu produk kultural yang digali melalui khazanah kekayaan bangsa akan menghantarkan siswa dalam upaya memahami realitas. 

Isi saya, bukan sekadar kesan estetika (keindahan) dari sebuah teks sastra, melainkan juga memuat dimensi ontologis (ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis) terkait narasi hakikat hidup anak manusia. Saya adalah suara yang dihasilkan melalui proses pergumulan panjang penulis dengan realitas sekitarnya. 

Realitas yang penuh dengan ragam dimensi hidup. Mulai dari kesedihan, kegembiraan, komedi, hingga paradok.

Nilai Kemanusiaan

Ya, walaupun secara definisi pengertian saya tidak dapat dirumuskan tetapi secara intuitif dapat dipahami sebagai reduplikasi gagasan yang tidak dapat secara langsung berkaitan dengan kenyataan.

Dalam pemahaman lebih lanjut, saya bukan sekadar dokumen satu arah dengan mengungkapkan moral atau amanah. Saya adalah gerbong yang membawa pemikiran tentang pengalaman manusia, penanaman kesadaran individu, kepekaan sosial, nilai budaya, dan memberikan kesenangan dan keseimbangan wawasan bagi pembaca. 

Pemikiran ini tercermin dalam alur dan tokoh cerita dapat ditemukan karakter kehidupan manusia, masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Bahkan kehidupan yang sama sekali asing.

Mengimajinasikan tiap derap karakter dan dialog yang dibangun antartokoh memungkinkan siswa akan menjumpai berbagai kemungkinan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya di dunia nyata. Sebuah modal yang cukup berarti untuk melihat kompleksitas hidup secara horizon harapan. 

Saya merupakan medium untuk mencintai nilai-nilai kemanusiaan: berani membela keadilan, melawan penindasan, menumbuhkan spirit asah-asih-asuh antarsesama, menghargai keragaman, hingga berbagai nilai luhur lainnya. 

Memahami saya sama halnya merefleksikan kebenaran dalam kehidupan manusia. Senantiasa memberi kenikmatan batin dan rasa indah. Bukankah nilai-nilai kemanusiaan itu pula yang dikedepankan oleh Ki Hadjar Dewantara ketika menjalani pendidikan?

Dengan demikian, saya masuk di kurikulum sekolah berarti memberikan energi positif, bagaimana saya bisa berperan dalam memberikan dampak pada nilai hakiki manusia.

Saya juga bisa memberikan implikasi positif, seperti melatih kemampuan berpikir kritis, yakni dengan menganalisis dan menafsirkan setiap pesan tersirat di balik teks sastra, mengasah kepekaan emosional, kaya perspektif, tidak menjadi generasi yang antikritik, senantiasa berpikir inklusif, hingga berani membongkar tampilan dunia yang senantiasa tidak baik-baik saja.

Membaca saya menjadi modal penting untuk memahami bahwa masyarakat modern tidak dengan sendirinya menjadi seperti sekarang, tetapi melalui proses kausalitas yang kompleks. Memahami hal ini sampai tingkat paling sublim (sangat menakjubkan) bisa membantu siswa menemukan posisinya kelak di masyarakat, menemukan bidang mana dia bisa berkontribusi dan memperoleh penghidupan.

Rene Wellek dan Austin Warren (1955) dalam buku Teori Kesusastraan bahkan menyebutnya sebagai suatu yang tak akan pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifatnya yang dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat).

Ketika saya masuk kurikulum di satu sisi mesti diiringi dengan semangat Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (di depan memberikan contoh, di tengah-tengah membangun kemauan atau cita-cita, dari belakang memberikan dorongan moral atau semangat). 

Guru harus mampu jadi inspirasi bagi anak didiknya, membiasakan diri membaca saya dengan totalitas penuh. Kalau perlu diskusikan hasil bacaan di kelas. Bagi siswa, laku ini bisa memantik rasa ingin tahu. Orang yang suka membaca tahu, membaca bukan sekadar menemukan informasi, tapi juga menikmati keingintahuan yang tumbuh seiring narasi berjalan.

Saya pun bermimpi, jika benar masuk kurikulum sekolah, di kelas terjadi diskusi menarik ketika saya diperbincangkan, didiskusikan. Siswa menjelaskan isi saya, unsur intrinsik dibedah, siswa belajar berargumen, saling mengkritisi. Guru menjadi fasilitator sekaligus pemantik. 

Mimpi inilah yang menjadi karakter literasi, empati, keberanian, dan nilai-nilai lainnya bisa diasah. Saya tidak hanya diketahui sinopsisnya saja, tetapi siswa juga belajar dari estetika isi dan nilai moral yang ada. Betapa serunya hal ini. 

Terkait dengan pornografi atau sarkasme yang ada dalam saya, yang sempat diperbincangkan, maka hal ini perlu diseriusi oleh pemangku kebijakan atau tim perumus. Bagaimana saya bisa masuk kurikulum sekolah dan isinya bisa memberikan sumbangsih pada siswa. 

Semoga mimpi saya jadi kenyataan. Saya berada di tangan siswa, duduk manis di bangku sekolah, didiskusikan, sampai pada waktunya, siswa akan berkata, “Bagus ya isi novel ini!” (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *