Tagar.co

Home » Biduan
Biduan, Cerpen oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 Gresik Kota Baru.
Biduan, Cerpen oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 Gresik Kota Baru.
Biduan (Ilustrasi freepik.com premium)

Biduan, Cerpen oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) Gresik Kota Baru.

Tagar.co – “Nama lengkap?” 

“Lopez Mayunda Nabila.”

“Kenapa pakai kata Lopez? Kamu naturalisasi?”

Dia menggeleng pelan, sambil melirik tajam sosok lelaki di depannya. 

“Itu nama panggung.”

“Pekerjaan?”

“Penyanyi.”

“Tepatnya?”

“Maksudnya?”

“Kamu penyanyi keliling. Tepatnya penyanyi jalanan. Atau penyanyi organ tunggal?” tanyanya lagi, sambil membetulkan tempat duduknya. 

“Terserah, Bapak.”

“Yang jelas!”

Dia terdiam. Matanya melihat mulut lelaki. Grafik nafasnya tidak teratur. Melonjak kadang merendah seperti bola bekel.

“Dapat uang banyak? Dapat saweran? Terus diajak kencan lelaki hidung belang? Menjadi wanita penghibur? Atau simpanan para bos, juragan, atau bahkan pejabat?”

“Demi kemanusiaan,” jawabnya cepat. Lelaki itu terpanah, matanya terbuka lebar. 

“Jangan terlalu filosofis. Jangan bertele-tele. Yang jelas biar semuanya bisa dibongkar, bisa ditelusuri.”

“Untuk harga diri.”

“Berapa harganya?”

“Nilai ini lebih tinggi, sangat mahal karena terkait dengan nilai kemanusiaan. Harkat dan martabat. Menyanyi bukan sekadar bersuara merdu, bergoyang, dan menerima bayaran, tetapi itu semua tentang ketinggian derajat.”

“Terserah apa yang kamu katakan,” kata lelaki itu sambil garuk-garuk kepala. 

“Terserah pemahaman Bapak yang mulia.”

“Kamu tahu DPO yang kemarin ditangkap? Dia adalah orang yang berhasil merugikan negeri. Pejabat yang makan uang negara. Itu uang rakyat, Lopez!”

“Panggil aku J-Lo.”

“Terserah kamu.” Lelaki itu menggebrak meja. 

Dia terdiam. Matanya memusat ke bawah. Kepalanya mendadak berat. Cahaya dari lampu neon 10 watt itu semakin gelap. 

“Dengar J-LO!” suara lelaki itu berat. “Sekarang, kamu harus jawab semua pertanyaan saya!”

Mata J-Lo berkunang-kunang. Serasa ribuan lebah masuk dan menusuk-nusuk. Semakin keras, semakin membara. Tubuh J-Lo terasa melayang-layang.

***

Sejak kecil, aku memiliki suara merdu. Itu kata guru kesenian ketika mengajarkan lagu daerah di kelas. Aku pun diam saja dengan sanjungan itu. Ketika menginjak dewasa, tawaran menyanyi selalu ada, apalagi ketika acara tujuh belasan.

Lambat laun, aku terbiasa pindah dari panggung satu ke panggung lainnya. Sampai-sampai, tetangga rumah mulai mengusik kedua orang tuaku. 

“Bu, apa sih pekerjaan Ayu?”

“Kok berangkat pagi pulang malam, bahkan sampai subuh baru pulang.”

“Enak ya, sekarang banyak uang. Ayu kan bayarannya banyak. Bisa beli tanah, sapi, bahkan perbaiki rumah.”

Ya, aku kecil dipanggil Ayu. Sejak kecil, aku dan orang tua hidup sederhana, bahkan boleh dikata mendekati garis kekurangan. Omongan tetangga jarang tak kuhiraukan. Prinsipku, dengar lalu hilangkan. Ibuku hanya tahu kalau aku bekerja menyanyi, menghibur orang. 

“Jaga diri baik-baik,” pesan ibu ketika aku pamit, Sabtu lalu ketika aku diundang kelurahan kampung tetangga. 

Karena jadwal manggung semakin padat, aku pun terus berlatih supaya orang mendengarkan dan menonton tidak kecewa. Selain lagu dangdut, aku pun belajar lagu latin, dari diva pop yang sering kusaksikan dari layar televisi. 

“Nggak ada salahnya kamu belajar lagu selain itu-itu saja,” kata Pras, teman sekolah yang sering ajak manggung. 

“Bisa dijadikan referensi, supaya penonton terus terpanah dan takjub mendengarkan lagu dan melihat goyanganmu,” tambahnya sambil menyodorkan amplop putih.

“Apa ini, Pras?”

“Bayaran manggung kemarin.”

“Kok tebal.”

“Ada bos yang menambahi bayarannya. Dia malah minta kau manggung di kantornya.” 

“Lihat tampilan Jennifer Lopez saat menyanyikan Lagu Get Right.” Aku mengangguk sambil mengamati amplop putih di tangan. 

“Istirahat dulu,” kata Pras sambil kakinya meninggalkan teras rumah. Aku tertegun sebentar. 

Suatu hari, ketika langit barat kemuning, di sebuah kantor di bilangan kota, aku terduduk diam saat menunggu Pras yang hampir satu jam ada di dalam ruang berkaca. Aku terus membetulkan posisi tempat duduk. 

Punggungku terasa kaku. Sebentar-bentar, kugerakkan sambil terus-menerus mataku melihat jam dinding yang menempel di dinding coklat tua itu. Pras belum juga keluar. Aku pun hilang kesabaran. Mencoba berdiri, mendekat ke jendela kaca berukuran sedang. 

Langit mulai gelap berganti dengan lampu jalanan yang mulai temaram.

“Ayu,” panggil Pras. Aku langsung menoleh. Perasaan lega meraja karena hampir senewen menunggunya keluar ruang. Di samping Pras, ada lelaki berdasi yang mengenakan setelah jas senada. Berkacamata, rambutnya ikal dan berjambang tipis.

“Kenalkan!” 

Aku menyambut uluran tangan lelaki itu. Namanya kurang jelas meluncur dari mulutnya. Dalam hatiku, tidak terlalu penting. Yang kuingat, kata Pras, dia pejabat yang memiliki pengaruh di negeri ini. Aku pun melempar senyum sebagai rasa hormat dan ucapan terima kasih karena bisa melihat malam dari jendela kantornya. 

“Bapak minta kamu mengisi acara di kantornya. Kamu bisakan, Ayu?” tanya Pras sambil memberikan kode kedipan kepadaku.

“Saya usahakan.”

“Bapak dengar sendiri kan. Ayu bisa mengisi acara tersebut.” Aku salah tingkah dengar ucapan Pras yang berbeda itu. 

“Nanti, jadwalnya akan saya atur,” Pras cepat, sambil menjabat tangan lelaki itu.

“Kalau boleh usul, ganti nama kamu!” kata lelaki itu sambil menatapku tajam. Aku menunduk. Pras mendampingi lelaki itu masuk ruangan. Beberapa saat kemudian, dia menghampiriku.

“Sip. Fantastik,” Pras memberikan selamat. Aku bingung sekaligus tidak mengerti. Beda tipis, gumamku. 

“Sekarang, pikirkan ucapan bapak tadi, ganti nama panggung supaya lebih ngetop.”

“Apakah harus?” Pras mengangguk cepat sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, kepalaku puyeng memikirkan nama panggung. Nama pemberian orang tua sudah bagus, bersitku. “Nggak perlu ganti nama, apalagi ganti KTP atau KK,” ucapku dalam hati. Sesampai di rumah, bayangan lelaki itu terus berputar-putar.

***

Aku sekarang tinggal di apartemen. Hampir dua tahun. Meninggalnya orang tua adalah peristiwa luar biasa bagiku. Aku jarang berpisah dengan mereka. Ini terpaksa kulakukan demi orang tua juga. Aku tidak ingin menyakiti hati ibu ketika tetangga mulai gencar mencibir bahkan menyebar berita tidak benar tentangku.

“Ini harus kulakukan, Bu!”

“Ibu, tidak apa-apa dengan omongan tetangga, Ayu.” Aku mengangguk sambil meneteskan air mata.

“Hapus air matamu, Yu.” 

“Iya, Bu. Barangkali keputusan ini Ayu akan lakukan, Bu.” Berganti, ibuku yang sekarang matanya sembab. 

“Mohon doanya saja. Ayu akan jaga diri di sana.”

Setelah itu, aku pun hidup di tengah kota, di apartemen yang tingginya dua kali dari pohon randu di desa. Jadwal manggung pun terus mengalir. Dari satu kantor ke kantor lain. Dari panggung pejabat ke pejabat lain.

“Luar biasa. Gokil,” ujar Pras.

“Apa yang luar biasa?”

“Kamu sudah jadi artis naik daun. Di mana-mana membicarakan kamu. Lopez Mayunda Nabila, artis pendatang baru.” Pras berdiri sambil tangannya membuka korden tipis jendela.

“Kamu sudah menaklukkan kota ini, Lopez.” Pras mendekatiku. 

“Berapa sewa apartemen ini?”

Nggak tahu,” jawabku. Pras hanya tersenyum simpul. 

“Aku mengerti, pasti itu dari bapak pejabat itu.

“Hus, jaga omonganmu, Pras?” 

Pras tertawa sambil membuka lemari es yang ada di dekat televisi. 

“Ini apartemen kelas wahid, Lopez.”

“Ya mana aku tahu. Aku hanya disuruh menempati. Itu saja. Bapak hanya bilang, biar urusan bisa lancar dan mudah. Gitu aja. Tidak yang lain.”

“Iya, itu kode, Lopez. Itu kode.”

“Kode apa?”

“Kamu sudah diikat.”

“Kayak sapi saja, Pras.”

“Dia itu pejabat teras. Yang memiliki pengaruh. Uangnya banyak. Pabriknya di mana-mana. Stafnya puluhan hingga ratusan. Di semua wilayah, kantor dia ada. Dia memiliki dekengan banyak. Orang dalam tunduk dengannya.”

“Sok tahu kamu, Pras.”

“Dengar Lopez,” Pras khotbah. “Dia baru saja mencalonkan diri sebagai pejabat teras, jabatan setara dengan gubernur atau apalah. Yang pasti, dia ingin jadi orang nomor satu di kota ini.”

“Trus, apa hubungannya dengan aku?” tanyaku saat itu. Pras diam. Matanya menatapku tajam.

“Jangan ikut dalam permainannya.”

“Aku hanya manggung sesuai jadwal. Menyanyi, bergoyang ke sana ke sini. Itu saja.”

Mata Pras masih menatapku. Aku mulai deg-degan. Perasaanku mulai berkecamuk. Aku mulai tidak enjoy dengan tatapan Pras yang mengundang tanya itu. Suasana semakin kaku. Aku hanya mematung dengan tatapan kosong layaknya manekin. 

***

Petang masih belia, aku berdiri di depan lift apartemen. Ketika pintu terbuka, aku masuk bersama beberapa wanita dan laki-laki bertopi datar yang bagian depannya berkancing untuk menyatukan crown dan pinggirannya. 

Aku menekan nomor 15. Tubuhku langsung melesat. Jam tanganku, jarum pendeknya berada di angka 6. Mataku terus melihat perpindahan angka demi angka di pinggir pintu lift. Ketika angka berada di 14, aku menarik napas.

Ting. Kakiku beranjak ke depan. Tiba-tiba, dari arah belakang, dua orang laki-laki dan perempuan, menggelendengku. Aku menjerit, meronta. Mendadak langsung gelap. Pandanganku terhalang tabir, hitam. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *