Tagar.co

Home » Jamari, Tokoh Perintis Muhammadiyah Bawean
Di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Muhammadiyah ada sejak sebelum tahun 1965. Namun, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bawean baru resmi berdiri sesuai SK Nomor 2100 pada 7 Oktober 1965 sebagai cabang keempat di Kabupaten Gresik.

Jamari, Tokoh Perintis Muhammadiyah Bawean

Di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Muhammadiyah ada sejak sebelum tahun 1965. Namun, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bawean baru resmi berdiri sesuai SK Nomor 2100 pada 7 Oktober 1965 sebagai cabang keempat di Kabupaten Gresik.
Jamari dan istri, Raden Sari Roso saat acara sungkeman pernikahan anak keempat, Siti Hamidah. Jamari, Tokoh Perintis Muhammadiyah Bawean (Tagar.co/istimewa)

Tagar.co – Jamari tokoh perintis Muhammadiyah Bawean. Di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Muhammadiyah ada sejak sebelum tahun 1965. Namun, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bawean baru resmi berdiri sesuai SK Nomor 2100 pada 7 Oktober 1965 sebagai cabang keempat di Kabupaten Gresik.

Salah satu perintis dan tokoh penting Muhammadiyah di Bawean adalah Jamari. Ia merintis bersama tokoh lainnya seperti Mudhar Jamil, Abdul Rauf, Shaleh Ahmari, Raden Syaharuddin, H. Zainuddin, Mansur, dan Mahmud Badruddin.

Menurut catatan Jamari yang disalin ulang Rose Yuliati, putrinya, Jamari lahir di Dusun Baratsungai, Desa Kotakusuma, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Tepatnya pada Ahad Wage, 30 Maret 1920 bertepatan dengan tanggal 23 Shafar 1341 Hijriah pukul 13.00 WIB.

Nama kecil Jamari adalah Umar Faruq. Tidak ada cerita bagaimana akhirnya berganti nama menjadi Jamari yang dikenal banyak orang dan dia pakai hingga berusia 68 tahun. Saat berhaji pada tahun 1988, nama Jamari berganti menjadi Haji Nur Qomari hingga wafatnya pada 1992.

Di masa mudanya, putra dari pasangan H. War’en bin H. Muhammad Samman dan Warin ini menjadi seorang tentara saat perang kemerdekaan. Sekira tahun 1948, Jamari pernah mendapat tugas mengambil senjata di Surabaya pakai perahu layar. Saat pulang ke Bawean, ia sempat dikejar kapal Belanda. Beruntung akhirnya tidak terkejar dan bisa selamat sampai di Pulau Bawean.

Pada 1949, kapal tentara Belanda merapat ke Pulau Bawean. Saat itu Belanja kembali ingin berkuasa di Indonesia. Kedatangan tentara Belanda ini dihadang para pejuang Bawean, termasuk Jamari di lapangan Pesanggrahan Sangkapura. Saat itu Belanda menembaki para pejuang. Jamari dikabarkan meninggal. Kabar ini terdengar sampai kepada sang istri, Raden Sari Roso yang saat itu mengungsi di daerah pegunungan Bawean. Nyatanya, Jamari masih hidup dan selamat.

Jamari menikah dengan Raden Sari Roso pada 21 Agustus 1947. Mereka dikarunia tujuh anak. Yaitu Rose Yuliati, Nur ‘Ainy, M. Ali Hanafiyah, Siti Hamidah, Lukman Hakim, Abdul Halim Ar Rasyid, dan Khairil Anwar.

Sebelum itu, Jamari pernah menikah dengan Ainiyah dan memiliki seorang anak Ainul Mala. Bahtera pernikahan pertamanya kandas di tengah jalan.

Menjadi tentara saat itu tidak bergaji. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Jamari memilih menjadi pedagang, meninggalkan dunia ketentaraan. Namun demikian, setelah sekian tahun Indonesia merdeka, Jamari diakui sebagai tentara dan mendapat gaji sebagai veteran.

Setelah tidak lagi di dunia ketentaraan, Jamari berjualan tekstil seperti pakaian dan sarung. Barang dagangan ia beli di Surabaya. Aktivitas perdagangan Jamari hingga ke luar pulau bahkan mancanegara.

Pada 1954, Jamari berdagang hingga ke Medan, Sumatera Utara dan Singapura. Di Singapura, Jamari memiliki kakak ipar Raden Abdul Halim. Kakak iparnya lebih dulu berangkat dan bekerja di Singapura. Kerasan di Singapura, Raden Abdul Halim mengajak sang istri di Bawean untuk tinggal dan menetap di Singapura hingga akhir hayatnya.

Sang kakak ipar memiliki 6 orang anak yang semuanya menjadi Warga Negara Singapura. Meski berbeda kewarganegaraan, hubungan keluarga anak-anak Jamari dan anak-anak Raden Abdul Halim tetap terjalin akrab hingga kini dengan saling mengunjungi antarkeluarga.

Setelah Muhammadiyah di Bawean berdiri pada 1965 dan Jamari berkecimpung di dalamnya, aktivitasnya berdagang ke luar pulau dia hentikan. Jamari berkongsi dagang dengan sahabatnya yaitu Haji Zainuddin yang juga perintis Muhammadiyah di Bawean. Mereka berjualan perlengkapan tekstil seperti kain, benang dan kancing di pasar Sangkapura.

Hasil perdagangan Jamari di Bawean tidak besar, sehingga untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sang istri Raden Sari Roso yang akrab dipanggil Nek Sari pun ikut terlibat dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ia membuat dan menjual jajanan serta beberapa keterampilan lainnya yang bisa menghasilkan uang

“Hasil kerja Nek Sari sangat membantu ekonomi keluarga sehingga bisa membiayai sekolah anak-anaknya,” ungkap Rose Yuliati.

Seperti halnya anak kedua, yaitu Nur ‘Ainy bisa diberangkatkan ke Yogyakarta bersekolah Bidan di PKO Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1972. Demikian pula anak keempat yaitu Siti Hamidah disekolahkan di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Siti Khotijah Sepanjang Sidoarjo. Dr Hj Siti Hamidah MKes kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG).

Menurut keterangan Ir H Aunur Rofiq, menantu Jamari, ayah mertuanya pernah mondok di Burneh Bangkalan Madura dan Pondok Sidogiri Pasuruan. Tak heran jika keberadaan Jamari di Muhammadiyah sangat penting sebagai tokoh yang menjadi rujukan dalam urusan agama. Namun belum diketahui bagaimana ceritanya Jamari bisa berkecimpung di Muhammadiyah Bawean.

Menurut Azalia Rohmi, alumnus Jurusan Sejarah UGM yang menulis skripsi/buku berjudul Matahari Terbit di Bagian Utara Jawa: Perkembangan Muhammadiyah di Pulau Bawean (1960-1996), perintis Muhammadiyah di Bawean dikelompokkan menjadi tiga kelompok.

Pertama, para pemuda Bawean yang mengenal dan mengetahui Muhammadiyah ketika masih bersekolah di Pulau Jawa. Kedua, para aktivis Bawean yang berpikiran modern. Ketiga, adalah kelompok Kemas, pedagang asal Palembang yang bermukim di Pulau Bawean. Dari ketiga kelompok ini Jamari cenderung termasuk kelompok pertama atau kedua.

Menurut catatan Rose Yuliati yang juga Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah Sangkapura ini, ayahnya pernah menjadi Ketua PCM Bawean pada periode kedua, yaitu 1970-1975. Adapun periode pertama, 1965-1970, dipegang Mudhar Jamil yang kemudian menjabat anggota Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PDM) Gresik dan anggota DPRD Kabupaten Gresik dari unsur Partai Persatuan Pembangunan.

Tokoh Sentra

Jamari yang mempunyai dasar pendidikan agama yang baik, tentu saja menjadi tokoh sentral pada sejarah awal perkembangan Muhammadiyah Bawean. Saat Muhammadiyah Bawean mendirikan madrasah diniah sekitar tahun 1967, Jamari menjabat sebagai kepala madrasah yang pertama.

Selain di bidang pendidikan, Jamari juga banyak berkecimpung di bidang dakwah. Dia memiliki jadwal rutin mengisi khotbah Jumat ataupun sebagai imam shalat rawatib di Masjid As-Shalihin bersama tokoh Muhammadiyah lainnya. Sedang di rumahnya, Jamari juga masih mengajari anak-anak mengaji dan mengajari ilmu tajwid pada malam hari.

Selain berdagang, ternyata Jamari juga punya talenta dan hobi bermain musik. Alat musik kegemarannya adalah akodeon, harpa dan biola. Bersama beberapa temannya seperti Usman Faruq, Syarifi dan Raden Usman Basya, Jamari membentuk Grup Orkes Bunga Seroja. Bunga Seroja terbentuk sebelum Muhammadiyah berdiri di Pulau Bawean.

Saat itu boleh dikatakan Grup Orkes Bunga Seroja satu-satunya grup orkes yang ada di Bawean sehingga banyak undangan manggung ke berbagai sudut desa di Pulau Bawean. “Karena keterbatasan alat transportasi kala itu, Bunga Seroja memenuhi undangan manggung dengan berjalan kaki ke desa-desa di Bawean,” kenang Rose Yuliati.

Bagi keluarganya, Jamari dikenal sebagai sosok ayah yang tak banyak bicara, sehingga disegani anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya banyak menyalurkan aspirasi melalui sang ibu, Nek Sari.

Anak-anak Jamari sebagian besar mengikuti jejak sang ayah, ikut berjuang di Muhammadiyah. Tidak hanya tenaga dan pikiran, anak-anak hingga cucu-cucu Jamari juga banyak membantu materi atau dana untuk pembangunan Amal Usaha Muhammadiyah di Pulau Bawean.

Anak pertama Hj Rose Yuliati beberapa periode menjabat sebagai Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Sangkapura. Dr Hj Siti Hamidah aktif di Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Gresik. H M Ali Hanafiyah pernah beberapa periode menangani Majelis Tabligh PCM Sangkapura. Anak terakhir H Khairil Anwar menjabat bendahara PCM Sangkapura sejak tahun 2015 hingga saat ini.

Jamari meninggal dunia pada usia 72 tahun tepatnya pada 15 Juni 1992. Dia dimakamkan di Pemakaman Gunung Malokok Desa Sawahmulya Sangkapura Bawean.

Dari delapan anaknya, Jamari dikaruniai 27 cucu. Enam orang jadi dokter, 4 di antaranya dokter spesialis, yaitu dr Ratih Bariroh, Sp.OG, dr. Siti Khotijah, dr. Baihaki (ketiganya adalah anak dari Hj. Nur ‘Ainy-Ir. H. Aunur Rofiq), dr. Muhammad Rizal, Sp.Og, dr. M. Zaniar Ramadhani, Sp.U (keduanya anak dari Dr. Hj. Siti Hamidah-H. Totok Wahyudi) dan dr. Muhammad Riyadi, Sp.OT (anak dari H. M. Ali Hanafiyah-Hj. Nur Mala). (#)

Jurnalis Kemas Saiful Rizal Penyunting Sayyidah Nuriyah

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *